Cinta di Ujung Pena

Cinta di Ujung Pena

Menulis adalah wujud dari cinta. Kecintaan pada ilmu dan peradaban. Tak ada peradaban yang tegak tanpa ribuan karya dari para pencintanya. Dengan cinta pula, menulis akan
terasa begitu nikmat, bukan menjadi sebuah beban.

Oleh. Arum Indah
(Kontributor Narasiliterasi.id)

Narasiliterasi.id-Imam Ghazali pernah berkata, “Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah!” Sepenggal kalimat itu rasanya sangat cocok untuk diriku. Ya, aku bukanlah seorang anak raja, apalagi anak raja Jawa yang bebas minta apa saja. Aku juga tak terlahir dari rahim istri seorang ulama besar sekaliber Imam Syafii atau ulama yang lain. Sebagai masyarakat biasa yang sama sekali tak memiliki garis keturunan ningrat, tetapi tetap bersyukur karena aku tak sampai hidup melarat. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa menjadi konglomerat. Hehehe.

Guys, dahulu aku sering berpikir, bagaimana ya agar aku yang biasa-biasa saja ini bisa memiliki alur cerita kehidupan yang tak biasa. Mengingat tak banyak hal yang bisa aku banggakan dari diriku selain rasa semangat dan tekad yang kuat. Berbekal dua modal itu, saat duduk di bangku kuliah dan tawaran datang kepadaku untuk terjun ke dunia menulis, aku pun menerimanya dengan senang hati. Walau aku akui, perjalanan di dunia menulis tak selalu mulus, bahkan aku pernah ada di fase hibernasi parah. Aku menarik diri dari semua amanah yang berkaitan dengan menulis. Gantung pena cukup lama dan bersiap pensiun dini. Namun, jalan panjang yang aku tapaki justru mengantarkan aku pada sebuah gerbang yang membuatku mulai jatuh cinta pada menulis.

Cinta Bersemi di Tahun 2024

Eits, saat membaca subjudul ini, jangan berpikir cinta yang lain ya! Ini adalah tentang cinta pada dunia literasi. Mungkin tak berlebihan jika aku katakan bahwa tahun 2024 adalah tahun di mana aku mulai menemukan cinta pada dunia literasi. Lebih tepatnya, menemukan cinta yang hilang atau cinta lama bersemi kembali, ya? Apa pun itu, aku mulai menikmati aktivitas merangkai aksara ini.

Rasa itu mulai bersemi saat aku mulai mengikuti challenge NP. Challenge yang diadakan di bulan Ramadan dengan tema Gerak Aksara Ramadan. Jujur saja, bulan Ramadan tahun 2024 lalu menjadi yang pertama yang paling berkesan. Hari-harinya selalu aku isi waktu dengan menulis. Setidaknya ada lebih dari 15 karya tulis yang berhasil aku selesaikan. Alhamdulillah, namaku keluar sebagai pemenang ketiga saat pengumuman.

Impian Jadi Nyata

Challenge pun berlanjut ke Meraki Literasi Batch 1. Di challenge ini, aku mampu menyelesaikan lebih dari 20 karya tulis dalam waktu sebulan. Sungguh suatu prestasi yang tak pernah aku duga. Alhamdulillah lagi, aku keluar sebagai pemenang kedua.

Merasa masih ingin mengasah pena dan di satu sisi aku juga penasaran, mengapa begitu sulit untuk menaklukkan posisi nomor wahid di beberapa challenge NP sebelumnya. Aku pun kembali mengikuti challenge, yakni Meraki Literasi Batch 2. Bagi diriku, challenge ini kembali menjadi sebuah rekor. Aku mampu menulis lebih dari 30 naskah dalam waktu satu bulan. Targetku untuk mencapai satu hari satu tulisan bisa terealisasi. Selanjutnya bagaimana? Apakah aku berhasil meraih posisi nomor wahid? Wah, tentu saja tidak. Nama Bunda Isty lagi-lagi keluar sebagai sang jawara.

Namun, ada hal yang membuatku sangat terharu, ternyata Mom Andrea juga menyiapkan reward khusus untukku, yaitu reward untuk menerbitkan buku solo. Tahukah, Guys? Setahun silam, tertulis jelas dalam target hidupku bahwa aku ingin merilis buku solo di tahun 2024. Alhamdulillah, ternyata target itu bisa aku realisasikan bersama NP.

Aku jadi teringat akan nasihat pembina kehidupanku. Beliau pernah berpesan agar aku selalu merencanakan segala sesuatu dalam hidup ini. Nasihatnya kala itu, “Rencanakan saja semua yang kamu inginkan dan biar Allah yang memberi jalan untuk mengabulkan semua rencanamu itu.” Masyaallah.

Cinta Meningkatkan Kemampuan Menulis

Berkat challenge NP, ada hal penting yang aku dapatkan, yaitu meningkatnya kemampuan menulis. Setelah diasah berkali-kali dalam challenge, aku akui banyak sekali perubahan dalam tulisanku yang sekarang. Tulisan yang sekarang jauh lebih rapi dan teratur dibandingkan dengan tulisanku yang dahulu. Walau aku juga masih harus banyak belajar lagi untuk membuat opini yang jitu dan mendalam.

Kebiasaan saat challenge berlangsung yaitu menghabiskan hari-hari dengan sibuk menulis di atas gawai, ternyata membentuk habits yang baru. Saat challenge usai, aku justru merasa ada yang hilang. Rasa kehilangan yang timbul karena sebelumnya hampir setiap hari aku selalu memeras otak untuk memikirkan tema dan alur tulisan yang ingin aku buat.

Akhirnya, aku pun memutuskan untuk tetap rutin menulis walau challenge telah berakhir. Ada kenikmatan baru yang aku temukan saat mengukir aksara. kenikmatan yang paling utama adalah terbukanya cakrawala berpikir dan meluasnya pengetahuan. Aku juga makin paham bagaimana kaitan antara peristiwa-peristiwa politik dengan ideologi kapitalisme hari ini. Benarlah, jika ada pendapat yang mengatakan bahwa pemikiran politis adalah pemikiran paling tinggi yang bisa membaca apa yang ada di balik suatu peristiwa. Saat mencari bahan untuk menulis opini, tak jarang aku merasa takjub sendiri sebab banyak informasi baru yang aku dapatkan.

Kabar Gembira

Hal lain yang tak aku lupakan di tahun 2024 adalah saat Mom Andrea mempersilakan aku untuk bergabung ke Tim Penulis Inti (TPI) pada bulan Agustus. Pagi itu, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, nomorku sudah digabungkan ke dalam sebuah grup bernama “My Team Writer”. Dengan perasaan yang campur aduk antara senang dan takut terlalu percaya diri, aku pun memastikan ke Mom apakah aku benar-benar masuk ke grup TPI. Alhamdulillah, Mom memberikan aku kesempatan untuk bergabung dan menimba ilmu di TPI.

Tentunya aku sangat bahagia. Di grup TPI makin banyak ilmu yang aku dapatkan setiap harinya. Entah itu bedah naskah, memereteli tulisan anggota tim, dan lain sebagainya. Walau saat ini rubrik sharing ilmu belum berjalan lagi, aku tetap bahagia bisa menjadi bagian dari TPI.

Bukan Tanpa Hambatan

Meski telah jatuh cinta dalam dunia literasi, bukan berarti perjalananku tak memiliki hambatan. Kadang kala, aku merasa kesulitan untuk memanajemen waktu antara agenda mingguan, mengurus tiga bidadariku tercinta, dan menulis. Kadang kala si jenuh juga berulang kali pernah datang untuk mengetuk jiwa, tetapi seperti yang aku katakan tadi, jika aku tak menulis, seperti ada bongkahan besar yang hilang dari dalam diri.

Saat awal Oktober lalu, ada musibah yang menimpa anakku yang paling bungsu dan membuatnya harus rutin kontrol ke rumah sakit beberapa hari sekali. Selama menemani si bungsu untuk memulihkan luka, aku tak fokus pada hal yang lain. Aku ingin mencurahkan sepenuhnya perhatian untuk si kecil. Akan tetapi, saat si bungsu sudah mulai bisa tertidur lelap, aku justru bingung harus berbuat apa. Aku pun mencoba untuk berselancar di dunia maya. Namun, rasa kehilangan itu kembali muncul. Jiwaku seperti hampa. Aku merasa membuang waktu sia-sia jika hanya berselancar di dunia maya tanpa tujuan. Akhirnya aku putuskan untuk kembali menulis di waktu si bungsu tidur.

Saat itu bertepatan dengan berlangsungnya challenge. Meski hatiku ciut karena aku berada di grup para juara NP dan aku merasa kerdil. Syukurnya, modal semangat dan tekadku tak pernah mengecil, aku pun tetap mencoba untuk mengirim tulisan. Setidaknya ada 8 tulisan yang bisa aku selesaikan selama challenge berlangsung. Hasilnya? Hihihi, jangan ditanya. Tentu saja bukan aku jawaranya. Akan tetapi, aku tetap puas karena berhasil menutup jiwaku yang terasa hampa.

Memupuk Harapan

Tak terasa, fajar 2025 sudah datang menyapa. Lembaran tahun 2024 telah usai dengan segala warna dan tentunya telah menjadi jejak sejarah yang hanya bisa dikenang, tanpa bisa diulang.

Perkataan Imam Ghazali yang aku sebutkan di awal, telah aku dapatkan maknanya. Aku hanya manusia biasa, maka aku harus menulis. Dengan menulis, aku akan bisa mengubah peradaban. Tulisan yang aku buat mungkin bisa menjadi peluru yang akan menembus jutaan kepala di luar sana. Kelak, goresan penaku mungkin akan menyibak dan mengoyak tirai peradaban kapitalisme. Lalu, namaku akan terukir indah dalam tinta sejarah kebangkitan Islam sebagai penulis peradaban. Sungguh suatu gelar yang sangat mulia untuk diriku yang berasal dari kalangan biasa.

Tahukah teman? Bagaimana ulama terdahulu menghabiskan waktu untuk menulis? Imam Syafii telah menulis lebih dari 100 buku semasa hidupnya, Ibnu Hazm 400 karya, Imam Adz-Zahabi mampu menulis 600 karya, dan ulama-ulama lain yang juga memiliki karya tulis begitu luar biasa. Lalu, dari mana kita mengenal para ulama terdahulu? Benar, jawabannya sudah tentu dari tulisan mereka. Lewat karya tulisan itu, kita bisa menyelami betapa dalam dan luasnya ilmu seorang ulama. Lewat karyanya pula, ulama-ulama itu terus hidup berdampingan bersama kita walau raganya sudah tak ada di dunia.

Akhir Cinta yang Bahagia

Bukankah itu sebuah akhir hidup yang indah? Saat nyawa tak lagi dikandung badan, tetapi namanya tetap harum dan pahala terus menyapa bak air mengalir. Ya, begitu pula denganku. Aku ingin seperti para ulama-ulama itu. Walau secara keilmuan, mungkin ilmuku hanya seujung kuku para ulama. Akan tetapi, dengan ilmu yang sedikit ini, aku berharap tetap banyak pikiran manusia yang bisa tercerahkan saat mereka membaca tulisan-tulisanku.

Lewat ilmu yang sedikit ini pula, aku berharap goresan pena milikku akan menjadi pemberat amal ketika di yaumulakhir. Aku yakin, sekecil apa pun kebaikan yang kita tebar, pasti Allah akan membalasnya dengan sebaik-baik balasan. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ

Artinya: “Barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarah, ia akan melihat balasannya.”

Baca juga: Menulis Penuh Cinta, Why Not?

Khatimah

Menulis adalah wujud dari cinta. Kecintaan pada ilmu dan peradaban. Tak ada peradaban yang tegak tanpa ribuan karya dari para pencintanya. Dengan cinta pula, menulis akan terasa begitu nikmat, bukan menjadi sebuah beban.

Di tahun 2025 ini, sudah banyak harapan yang aku panjatkan pada Allah, beberapa di antaranya semoga aku tetap istikamah untuk terus mencerdaskan umat lewat tulisan. Semoga karya-karyaku akan makin banyak dibaca umat lalu bisa menggerakkan hati banyak orang untuk condong kepada syariat Allah. Aku pun berharap bisa menghasilkan karya-karya hebat yang kelak dapat mengabadikan nama ini di dunia literasi. Wallahualam bissawab. []

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor Narasiliterasi.id
Arum Indah Kontributor Narasiliterasi.id
Previous
Jembatan Rusak, Tanggung Jawab Siapa?
Next
Perda LGBT Akankah Jadi Solusi?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Ummu Ahsan
Ummu Ahsan
4 months ago

Masya Alloh. Sangat menginspirasi. Semoga sy bisa mengikuti jejak mba Arum 🤲.

Wd Mila
Wd Mila
4 months ago

MasyaaAllah Barakallah Mba Arum

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram