Kehilangan
2
174
Ternyata hadirnya perasaan kehilangan itu muncul karena kita merasa memiliki. Ketika kita menyadari bahwa semua yang ada di dunia itu milik Allah niscaya kita tidak akan merasa kehilangan ketika titipan itu diambil.
Oleh. Ni'matul Afiah Ummu Fatiya
(Kontributor Narasiliterasi.id)
Narasiliterasi.id-Kehilangan adalah sebuah keniscayaan. Siapapun orangnya, di manapun tempat tinggalnya, pasti pernah merasakan yang namanya kehilangan. Entah itu kehilangan barang atau kehilangan sesorang. Baik itu berupa barang berharga maupun barang yang tidak berharga, orang tersayang atau teman biasa.
Berbicara masalah kehilangan, aku pun pernah mengalaminya. Mulai dari kehilangan benda, seseorang, bahkan pernah kehilangan kata-kata (ups!). Namun, dari berbagai macam kehilangan itu ada satu kehilangan yang sangat menyesakkan dada, membawa kesedihan yang berlarut-larut hingga saat ini. Meski sudah berusaha mengikhlaskannya, tetap saja ada sedikit goresan luka dan rembesan air mata ketika ada hal-hal yang membuatku mengingatnya.
Tahun 2021-2023 adalah tahun-tahun kesedihan bagiku. Tiga tahun berturut-turut aku ditinggalkan oleh tiga orang yang tersayang untuk selama-lamanya. Pertama pada 24 Juli 2021, ketika orang yang sangat berjasa dalam hidupku yang karena kebaikannyalah aku dan suami bisa menemani ibu mertua menginjakkan kaki di dua tempat mulia. Begitu banyak dan besar perhatiannya terutama kepadaku. Ketika orang-orang di sekitarku tidak begitu menganggapku, dialah yang memperhatikanku. Ketika orang-orang hanya komentar melihat keadaanku tanpa memahami apalagi memberi solusi, ia tampil memperbaiki. Maka ketika kudengar kabar kepergiannya di tengah malam, saat itu pula aku tak bisa memejamkan mata lagi. Air mata terus mengalir tanpa bisa dibendung. Kumenunggu datangnya pagi yang rasanya lama sekali.
Berikutnya pada 21 Agustus 2022, tanpa diduga, tengah malam itu anaku dipanggil juga. inilah peristiwa yang paling menyedihkan seumur hidup yang sudah aku lalui. Hampir-hampir aku kehilangan semangat menjalani hidup. Bahkan sampai tiga bulan aku harus mandi air hangat setiap hari karena kondisi tubuh yang senantiasa menggigil kedinginan. Hal ini mungkin akibat kesedihan yang begitu mendalam.
Selang 8 bulan, yakni pada 20 Mei 2023. Tiba giliran bapakku yang dijemput menghadap Ilahi. Malam itu, entah mengapa aku sulit memejamkan mata. Meski sudah berusaha melakukan ritual membaca doa-doa sebelum tidur, tetapi tetap saja tak bisa tidur. Malah tiba-tiba muncul bayangan jenazah yang sudah dikafani dikelilingi oleh orang-orang yang melayat. Kucoba membalikkan badan sambil menyelimuti seluruh tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala, berharap bayangan itu segera lenyap, tetapi belum juga berhasil. Entah sampai berapa lama, ketika aku baru saja tertidur pulas tiba-tiba telepon berdering. Kulihat panggilan dari adikku. Segera kutekan gambar gagang telepon warna hijau.
“Hallo, assalaamu’alaikum,” terdengar suara serak di ujung telepon.
"Wa’alaikumussalam, iya ada apa Nin?” jawabku datar.
“Yayu sudah dengar kabar belum, bapak meninggal,” ucapnya sambil terisak.
"Innaa lillahi wa innaa ilaihi roji’un.” Tak terasa air mata meleleh mengiringi ucapan duka itu.
Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi masalah kehilangan, tergantung seberapa berartinya sesuatu yang hilang itu di hatinya. Jujur, ketiga peristiwa itu sempat membuatku merasa terpukul. Sampai saat ini pun, bayangan ketiganya masih bergelayut di pelupuk mataku. Namun, aku menyadari bahwa semua sudah menjadi ketetapan dari Allah yang tidak bisa kita hindari.
Teringat olehku, bagaimana seorang Rasul pun pernah mengalami kesedihan yang luar biasa. Ditinggal oleh paman dan istri tercinta, bahkan ditinggal anak laki-laki saat masih lucu-lucunya. Bisa kurasakan betapa sedihnya hati Rasulullah. Padahal Rasul adalah manusia pilihan yang doanya mustajab, tetapi Rasul tetap menjalani sunatullah, semua qada Allah. Lalu, bagaimana dengan kita yang hanya manusia biasa? Pantaskah kita berkeluh kesah, protes dengan keadaan? Tentu tidak bisa begitu.
Ternyata hadirnya perasaan kehilangan itu karena kita merasa memiliki. Padahal, semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. “Milik Allahlah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (TQS Al Baqarah: 284). Ketika kita menyadari bahwa semua yang ada di dunia itu milik Allah, sementara kita hanya dititipi, niscaya kita tidak akan merasa kehilangan ketika titipan itu diambil.
Maka penting untuk menanamkan keimanan terhadap qada Allah. Keimanan itu tidak akan tumbuh dan berkembang tanpa dibarengi dengan usaha mencari ilmu. Ternyata di sinilah pentingnya menuntut ilmu. Tanpa ilmu banyak orang terjebak dalam kekufuran ketika menerima ujian, bahkan banyak kasus bundir gara-gara tidak kuat menerima ujian. Sedangkan ujian kita sudah Allah sesuaikan dengan kadar kemampuan kita. Allah berfirman “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (TQS Al Baqarah: 286).
Jadi, apapun yang menimpa kita itu sudah Allah perhitungkan. Bagaimana cara kita untuk menghadapinya, berbanding lurus dengan tingkat kaimanan kita. Ketika iman bertambah, muncul kesadaran bahwa semua milik Allah. Maka dari situ akan muncul pula keikhlasan. Ikhlas secara bahasa berarti jujur, tulus. Kalau kita ikhlas maka kita akan benar-benar merasakan bahwa apa yang ada di sisi kita itu semuanya milik Allah. Anak, pasangan hidup, rumah, kendaraan, dan sebagainya semua itu pada hakikatnya milik Allah yang suatu saat nanti akan diambil. Kita hanya diberi amanah untuk merawat dan menjaganya. Pada akhirnya semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Baca : Qadha Allah dan Ikhtiar Hamba
Rasa ikhlas tidak akan muncul begitu saja, tapi harus melalui latihan. Banyaknya ujian yang datang menghampiri bisa jadi itu adalah cara Allah untuk menjadikan kita orang yang ikhlas. Maka ada beberapa tips yang bisa kita lakukan supaya kita menjadi orang yang ikhlas, di antaranya:
Pertama, menyadari bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan Allah. Semua sudah tertulis di Lauhulmahfudz sebelum manusia diciptakan.
Kedua, menanamkan rasa bahwa apapun yang menimpa kita, semua itu adalah yang terbaik untuk kita menurut Allah.
Ketiga, mengembalikan semua urusan kepada Allah. Seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Ketika mendapat musibah maka katakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”
Keempat, kembali pada tujuan awal diciptakannya manusia yakni untuk beribadah. Tujuan utama kita adalah negeri akhirat, sementara dunia hanya wasilah kita untuk beramal meraih kebahagiaan akhirat.
Semoga di tahun 2025 dan seterusnya, Allah jadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Ikhlas dalam menjalani apapun peran kita. Semua diniatkan untuk mencari rida Allah. Menjadi penulis untuk menebar syiar agama Islam, semata-mata karena Allah. Wallahualam bissawab. []
www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com
Mengikhlaskan kehilangan orang tersayang memang tak mudah..
[…] Baca: Kehilangan […]