Dilema Resolusi Palestina

dilema resolusi Palestina

Mereka berpendapat bahwa terlalu banyak warga Arab Palestina dalam sebuah negara Yahudi dan demokratis akan mengancam identitas bangsa Israel itu sendiri.

Oleh. Azmi Hidayat
(Kontributor NarasiLiterasi.Id)

NarasiLiterasi.Id-Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga umat beragama yang senantiasa dilanda konflik sejak berabad-abad silam. Kota yang menjadi sumber inspirasi toleransi dunia ini telah menjelma menjadi kota sengketa terlama yang diperebutkan oleh dua kekuasaan, yakni Israel dan Palestina. Berbagai macam usaha diplomasi telah dilakukan. Namun, tidak ada satu pun yang berbuah kesepakatan.

Masing-masing pihak berpegang teguh pada prinsipnya. Israel berujar, “Tanah ini adalah yang dijanjikan Tuhan,” sementara Palestina menegaskan, “Kami adalah pribumi asli tanah ini.” PBB pun telah mencoba melerai secara diplomatis dengan membahas opsi perdamaian yang mungkin dapat dicapai. Setelah melalui beberapa rapat yang alot, muncullah beberapa opsi. Penulis dan pengamat politik internasional terkemuka mengungkapkan dua solusi paling mungkin bagi keduanya dalam bukunya Who Rules the World.

Dwi-Nasional: Dua Bangsa, Satu Negara

Dalam membahas solusi ini, kedua pihak nyaris mencapai kesepakatan sebelum akhirnya kembali bersilang pendapat. Palestina, sebagai warga pribumi lokal, bahkan sempat menyatakan kesediaannya untuk berada di bawah kekuasaan Israel dalam satu negara demi keberlangsungan perdamaian. Hal ini dilakukan untuk memberikan kehidupan yang tenteram bagi anak-anak mereka.

Seperti yang terlihat, dampak paling parah dari perang—yang lebih pantas disebut pembantaian—dirasakan oleh anak-anak Palestina. Keinginan Palestina untuk mengakhiri penderitaan ini menunjukkan upaya tulus mereka dalam mengupayakan perdamaian di tengah kondisi yang terus memanas.

Namun, dengan angkuhnya, Israel kembali menolak usulan ini. “Bagaimana mungkin kami bersedia bersatu dalam satu negara dengan kelompok Hamas dan warga jelata Palestina?” Demikian alasan mereka. Israel merasa usulan ini tidak mungkin diterima tanpa konsekuensi besar.

Menurut analisis dua pakar kenamaan khusus Timur Tengah, Clive Jones dan Beverly Milton-Edwards, dalam tulisan mereka, jika Israel ingin tetap menjadi negara Yahudi dan demokratis, maka ia harus menolak usulan ini dan mencari opsi lain. Mereka berpendapat bahwa terlalu banyak warga Arab Palestina dalam sebuah negara Yahudi dan demokratis akan mengancam identitas bangsa Israel itu sendiri. Maka, ditawarkanlah opsi kedua.

Solusi Dua Negara di Tanah Palestina

Seperti namanya, solusi dua negara merupakan sebuah rencana untuk memisahkan dan mempertegas wilayah kedaulatan serta pengakuan negara satu sama lain. Mayoritas warga Palestina, dengan berat hati, memilih untuk berkompromi dan membagi tanah mereka kepada pihak yang mereka anggap sebagai penjajah.

Bagi mereka, yang terpenting adalah keamanan warga sipil, jaminan, dan ketenangan beribadah tanpa ancaman senjata. Harapan mereka sederhana: hidup dalam kemerdekaan yang sejati, tanpa tekanan atau intimidasi. Itulah yang mereka inginkan—tidak lebih.

Baca: Palestina Butuh Kekuatan Global (Khilafah)

Sementara di sisi lain, terlihat dahi para petinggi Israel berkerut mendengar usulan tersebut. "Bagaimana mungkin kami merasa aman bertetangga dengan negara yang dipimpin oleh kelompok Hamas, yang baru saja menyerang kami?" ujar mereka. Dengan alasan itu, Israel merasa berhak membalas serangan tersebut dengan kekuatan penuh, termasuk menembakkan ribuan peluru yang sebagian besar justru mengenai warga sipil Palestina, seolah nyawa mereka tidak ada harganya.

Di luar opsi diplomatis yang ditawarkan, Israel telah terbukti melakukan berbagai kejahatan perang yang serius: pembunuhan warga sipil, penghancuran fasilitas kesehatan dan publik, perusakan sumber air, pemblokiran bantuan kemanusiaan, serta deretan pelanggaran lainnya. Hal ini menarik perhatian masyarakat global, yang kemudian mengangkat kasus tersebut ke peradilan internasional. Kekejaman Israel dibawa ke sidang PBB, dan pemungutan suara digelar.

Satu per satu perwakilan negara di dunia menyatakan keberpihakannya. Hasilnya, hampir semua negara berpihak pada Palestina, karena sebagian besar menyadari bahwa masalah ini sudah melampaui batas politik biasa—ini adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Namun, seperti plot twist dalam sebuah cerita, Amerika Serikat datang menggunakan hak veto yang dimilikinya, membatalkan keputusan tersebut.

Amerika Serikat berdalih bahwa kemerdekaan Palestina hanya akan mengancam keamanan dunia. Namun, pertanyaannya adalah, dunia yang mana?

Disclaimer

www.Narasiliterasi.id adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  www.Narasiliterasi.id melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan www.Narasiliterasi.id. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Azmi Hidayat Kontributor NarasiLiterasi.Id
Previous
Generasi Tak Terlindungi, Kejahatan Seksual Kembali Terjadi
Next
Islam Memutus Rantai Politik Oligarki
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram